BAB I
Awal Kehadiran Orang Belanda
Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.
Menurut Segall, Dasen dan Poortinga, psikologi lintas-budaya adalah kajian mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok: keragaman perilaku manusia di dunia dan kaitan antara perilaku terjadi. Definisi ini relatif sederhana dan memunculkan banyak persoalan. Sejumlah definisi lain mengungkapkan beberapa segi baru dan menekankan beberapa kompleksitas: 1. Riset lintas-budaya dalam psikologi adalah perbandingan sistematik dan eksplisit antara variabel psikologis di bawah kondisi-kondisi perbedaan budaya dengan maksud mengkhususkan antesede-anteseden dan proses-proses yang memerantarai kemunculan perbedaan perilaku.
Tujuan Psikologi Lintas Budaya adalah untuk lebih mengenal tentang ragam budaya yang tersebar di seluruh Indonesia dan diluar Indonesia, sehingga mahasiswa dapat menjelaskan apakah itu maksud dari Psikologi Lintas Budaya.
Hubungan Psikologi Lintas Budaya dengan disiplin ilmu-ilmu lainnya dapat dibedakan dengan psikologi indigenous, psikologi budaya, dan antropologi. Psikologi Indigenous untuk mengenal tingkah laku asli dari masyarakat Indonesia maupun masyarakat luar yang menetap di Indonesia. Indigenisasi itu sendiri mempunyai arti yaitu, proses pencampuran dari psikologi luar dengan psikologi setempat. Berarti hubungan psikologi lintas budaya dengan psikologi indigenous adalah untuk lebih mengenal tingkah laku masyarakat asli di Indonesia. Hubungan psikologi lintas budaya dengan psikologi budaya adalah untuk menambah ragam budaya yang ada di Indonesia. Hubungan psikologi lintas dengan antropologi adalah untuk mengetahui tentan adat istiadat yang ada di Indonesia.
BAB II
Masyarakat Pendukung Kebudayaan Indis
· Konteks sosial
Masyarakat kolonial di hindia belanda memiliki struktur yang bersifat semi feodal. Mereka mengalami modernisasi karena masyarakatnya tumbuh sejalan dengan perkembangan sistem produksi dan teknologi. Selain itu, ada perkembangan pendidikan dan organisasi pemerintahan dengan gaya barat. Prestise golongan masyarakat pribumi lambat laun menjadi kuat. Kemudian terbentuklah golongan baru berdasar jenjang sosial baru. Yakni golongan intelektual pribumi atau keturunan. Golongan masyarakat tersebut umumnya menerima politik moderat. Dan mereka bersikap kooperatif terhadap pemerintah hindia-belanda.
· Nilai-nilai
Salah satu aspek dalam nilai-nilai adalah aspek normatif. Karena dapat menunjukkan keadaan yang di anggap berharga, yang menjadi tuntutan dan tujuan untuk memperoleh hidup yang lebih baik dibawah kekuasaan pemerintah kolonial. Aspek normatif berhubungan dengan sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang bersifat pribadi, yang di ekspresikan oleh susunan derajat kehidupan sesuai dengan masyarakat kolonial. Contohnya yaitu dalam hal bangunan rumahtinggal yang lebih bersifat pribadi, dengan ruang-ruang yang memiliki fungsi khusus.
· Kognisi sosial
Pada kebudayaan indis, aspek kognitif lebih sulit di artikan karena justru gaya indis berpangkal dari dua kebudayaan yang sangat jauh berbeda, yakni jawa dan belanda. Karena berhubungan erat dengan tingkat perasaan yang sangat sulit untuk dilukiskan dan di amati. Untuk memahaminya, perlu diketahui adanya suatu pengertian situasi atau fenomena kekuasaan kolonial dalam segala aspek dan proporsinya.
Sebagai contoh, misalnya dalam membangun rumah tempat tinggal dan susunan tata ruangnya. Setiap bagian rumah memiliki arti simbolik dan berhubungan erat dengan perilaku penghuninya. Pada suku jawa biasanya tidak ruang khusus untuk anggota tertentu, maka fungsi ruang tidak di pisahkan dengan jelas. Dalam konsep orang jawa, rumah merupakan mikrokosmos.
· Bahasa
1. Perkembangan bahasa
Sejak akhir abad ke-18 sampai awal abad ke-20, bahasa melayu pasar mulai berbaur dengan bahasa belanda. Pembauran ini berasal dari bahasa komunikasi yang di gunakan oleh keluarga dalam lingkungan “INDISCHE LANDSHUIZEN”, yang selanjutnya digunakan oleh golongan indo-belanda. Proses ini menimbulkan bahasa pijin atau bahasa campuran. Secara etimologis, kata pijin berasal dari istilah bahasa inggeris “business” yang berarti “perdagangan”. Kemungkinan perkembangan kata pijin sebagai berikut: /business/>/pizin/>/pidgin/>/pijin/.
2. Relativitas linguistik
Perbedaan perkembangan bahasa setiap budaya bergantung pada sosial-budaya, geografi, ekonomi, geografis, serta psikologi.
3. Universal dalam bahasa
Di dunia, tidak ada bahasa pijin yang merupakan bahasa pijin standar. Meski demikian, bahasa pijin pada umumnya muncul pada suatu situasi keadaan kebahasaan darurat. Misalnya pada ekspansi kolonialisme dan imperialisme eropa mengakibatkan bangsa eropa dan penduduk asli memiliki kebutuhan untuk berkomunikasi. Sehingga bangsa eropa menyederhanakan tatabahasa dan kosakata mereka dengan harapan dapat berkomunikasi dengan penduduk asli dengan lebih mudah. Pada perkembangan selanjutnya, bahasa pijin tersebut menjadi bahasa “kreol” atau bahasa ibu.
4. Bilingual
Bilingual merupakan penguasaan bahasa lain selain bahasa ibu. Misalnya seorang pribumi yang menguasai bahasa belanda.
Bab III
Gaya hidup masyarakat imdis
Pendekatan kultur-historis sangat membantu umtuk lebih memahami peradapan masyarakat indis, termasuk gaya hidupnya. Konsep indis di sini hanya terbatas pada ruang lingkup di daerah kebudayaan jawa, yaitu tempat khusus bertemunya kebudayaan eropa (belanda)dengan jawa. Rumah-rumah mewah (landhuizen) milik para pejabat tinggi VOC adalah tempat awal berkembangnya kebudayaan indis. Dari Batavia, kebudayaan indis tersebar luas dan berkembang di seluruh wilayah jajaran hindia belanda.
Kehidupan meawah dan boros akibat keberhasilan di bidang ekonomii disebabkan oleh adanya segolongan masyarakat indis di Batavia, khususnya mengacu pada kehidupan para petinggi di Weltevreden. Gaya hidup golongan masyarakat pendukung kebudayaan indis menunjukan perbedaan mencolok dengan kelompok masyarakat tradisional jawa. Kehidupan social dan ekonomi yang rata-rata lebih baik dibandingkan dengan kehidupan social masyarakat pribum pada umumnya, memungkinkan mereka memiliki rumah tinggal berukuran besar yang bagu di dalam kompleks yang wilayahnya khusus pula.
Sebagai golongan penguasa dan keturunan masyarakat yang mendukungdua akar kebudayaan yang berbeda, mereka berupaya untuk menunjukan kebesarannya yang berbeda pula dengan masyarakat kebanyakan, yaitu masyarakat pribumi. Kewibawaan, kekayaan dan kebesarannya ditampilkan agar tampak lebih mewah dan agung dibandingkan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Hal demikian dimaksudkan untuk menjaga kelangsungan kekuasaan mereka di Nusanrtara. Kehadiran balatentara Jeapang dalam perang Dunia II tahun 1942 menumbangkan lambang-lambang kebesaran kebudayaan indis dan mengubur kebudayaan dan gaya hidup boros serta mewah itu. Meskipun demikian, kebudayaan indis tidak seluruhnya lenyap. Dari pohon budaya indis yang besar dan menjangkau peradaban yang luas di Indonesia itu, masih ada tunas-tunas yang hidup dan tetap berlanjut dan berkembang pada masa Republik Indonesia setelah runtuhnya pendudukan jepang. Bahkan, di antara unsur-unsur universal budaya indis yang teatap menjadi unsure dominan sebagai kebudayaan nasional Indonesia, misalnya system pendidikan, system pemerintahan, perundangan-undangan dan dan sebagainya.
Berbagai berita tertulis berupa buah karya para musafir, rohaniwan, peneliti alam, pejabat pemerintah jajahan, termasuk berbagai buah karya sastera indis (indische belletries). Selain karya tulis, terdapat karya seniman berupa sketsa dan seni lukis yang memperkarya dan mengisi celah-celah kekurangan berita tertulis. Rekaman berita tentang gaya hidup masyarakat indis dari lapisan kalangan atas banyak didapatkan dari berita-berita tersebut, sebaliknya, berita tentang gaya hidup masyarakat indis dari kalangan bawah atau abdi VOC dan pemerintahan Hindia Belanda sangat sedikit. Demikian halnya dengan berita tentang peranan perempuan indis dari berbagai lapisan sangat sulit didapatkan. Data arsip dari gereja sedikit membantu, tetapi akta-akta gereja yang menyebutkan tentang perempuan juga tidak memuaskan atau tiak banyak member kontribusi.
Abdi atau penguasa VOC tersebut di atas dapat dibagi dalam empat golongan pokok yaitu :
a. Pegawai niaga, mulai dari jabatan opperkopman (pedagang kepala) sampai asisten (para pembantu atau juru tulis)
b. Personel militer dan maritime yang terdiri atas berbagai tigkat kepangkatan dan jumlahnya pun yang paling banyak.
c. Personel militer yang terdiri dari pendeta Calvinis (predikanen) yang cerdik pandai sampai petugas pengunjung orang sakit yang disebut zienkektrooster atau penghibur orang sakit
d. Kelompok terendah, yaitu terdiri dari para tukang dan para pengrajin, yang secara kolektif dikenal dengan ambahtheden.
BAB IV
Lingkungan Permukiman Masyarakat Eropa, Indis dan Pribumi
A. Sumber – sumber tentang Pola Lingkungan Permukiman
Pola permukiman, bentuk rumah tinggal tradisional dan bangunan rumah tinggi gaya Indis tercatat dalam berbagai sumber. Sumber yang paling banyak adalah berita tulis buah karya orang jawa, belanda (Eropa) serta orang asing lainnya. Selain itu, terdapat peninggalan bangunan yang hingga saat ini masih ada dan digunakan sebagai tempat tinggal atau keperluan lain. Sumber lain yang juga dapat digunakan sebagai sumber berita ialahhasil karya yang berupa lukisan, skets dan graver buah karya para musafir, peneliti alam, pejabat VOC dan dokumentasi pemerintah kolonial. Setelah dikenal pengguanaan alat pemotretan, hasil fotografi merupakan sumber berita penting yang dapat digunakan untuk melengkapi sumber – sumber tersebut.
1. Berita dari Karya Tulis
Berita tertulis tentang wilayah pemukiman yang kemudian berkembang menjadi kota, sudah lama dikenal sebelum ada abad ke -19. dalam disertasi FA. Soetjipto tentang kota – kota pantai disekitar Selat Madura terdapat informasi tentang sumber – sumber berita tertulis Pribumi, antara lain berupa babad, kidung maupun serat, baik yang maih berupa manuskrip maupun yang sudah dicetak dengan jumlah cukup banyak. Karya – karya tulis ini banyak ditulis didaerah pantai (pesisir) dan pedalaman Pulau Jawa.
Manuskrip tersebut antaralain Babad Negeri Semarang, Babad Tuban,Babad Gersik, Babad Blambangan, Babad Kitho Pasoeroean, Babad Lumajang dan Babad Banten. Yang berupa cerita perjalanan R.M. Poerwolelono. Kitab – kitab tersebut memberitakan dan menerangkan berbagai aspek kehidupan suku jawa,dan secara tidak langsung juga memberitakan tentang kota, rumah, adat, sejarah dan sebagainya.
Menggunakan sumber – sumber berupa babad, serat atau cerita perjalanan seperti tersebut di atas memerlukan ketelitian dan sikap kritis dalam memahaminya karena kitab – kitab tersebut memang tidak dimaksudkan sebagai karya sejarah, tetapi lebih bersifat karya sastera.
2. Sumber Tertulis dari Bangsa Eropa
Sumber tertulis tentang Pulau Jawa yang berupa cerita atau laporan perjalanan sudah ditulis pada abad ke-18 dan abad ke-19 cukup banyak, antara lain berupa Rapporten, Missiven, Memories van Overgave (naskah serah terima jabatan). Reis bechrijvingen (catatan perjalanan), Daaghregisters (catatan harian Kompeni di Batavia) dan Contracten (naskah – naskah perjanjian antara Kompeni dan kelapa – kelapa bangsa Pribumi).
Kebanyakan tulisan itu masih berupa manuskrip yang tersimpan di gedung arsip di Indonesia dan Belanda. Yang sudah diterbitkan antara lain Generale Missiven van Gouverneur Generaal en Raden aan Heeren XVII der Vereenigde Oost-Indische Compagnie, (S’Gravenhage, 3 jilid, 1960-1968); Daghregister Gehouden in’t Casteel Batavia van Passerrende daer ter Plaeste als Over Geheel Nederlandts-Indie, (31jilid, Batavia/Den Haag. 1888-1931); Corpus Diplomaticum Neerlando Indicum (diterbitkan J.E. Heeres G.F.W. Stapel, Deb Haag, 1907-1938).
Manuskrip yang berupa berita tentang kota dan kehidupan masyarakatnya pada abad ke-18 dan abad ke-19 banyak ditulis dalam kisah perjalanan di Hindia Belanda, khususnya Jawa. Karya dari pengalamn pribadi itu sangat mengasyikan untuk dibaca untuk menambah wawasan gambaran hidup sezaman yang meliputi tujuh unsur pokok universal kebudayaan indis di Jawa.
3. Berita Visual
Berita visual berasal dari karya lukisan, sketsa, grafis dan potrer. Selain berita dari karya – karya tulis yang sudah disebutakan pada sub-bab sebelumnya, penggambaran kota, permukiman dan perumahan dapat juga diikut secara visual lewat lukisan para pelukis Eropa yang datang ke Indonesia. Lukisan yaitu suatu lukisan dengan teknik encreuk relief yang dipahatkan pada lempengan tembaga atau perunggu sangat populer. Dalam melukis, pelukis antara lain menggunakan cara penglihatan mata burung (vogel vlucht). Karya – karya itu dilukis oleh para pelukis yang mengikuti perjalanan, pelayaran atau ekspedisi. Karya mereka berupa lukisan kota – kota pantai, seperti Batavia, Jepara, Banten, Gersik dan sebagainya.
4. Karya Berupa Fotografi
Karya berupa fotografi sangat banyak tersimpan di gedung KITLV Laiden dan berbagai museum Belanda. Menurut Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia di Pejaten (Jakarta), disebut oleh direkturnya, tersimpan tidak kurang dari 1.000.600 buah foto dari masa sebelum Perang Dunia II.
Sejak kehadiran kapal – kapal dagang Belanda pertama kedunia Timur, mereka sudah membawa serta para pelukis. Hasil lukisan mereka terutama digunakan untuk kelengkapan laporan kepada Heeren Zeventien di Belanda. Ada lukisan yang dimaksudkan sebagai kenang – kenangan atau sebagai hadiah keluarga. Ada pula yang dimaksud untuk diperjualbelikan. Objek lukisan ialah keadaan negeri – negeri yang dikunjungi, seperti kota – kota pantai, kehidupan masyarakat sehari – hari, adat-istiadat, rumah tempat tinggal dan sebagainya. Banyak di antara lukisan yang dihasilkan menunjukan kekayaan, kebesaran dan kekuasaanpara raja di berbagai negara yang disinggahi kapal – kapal VOC tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh para pelukis dan awak kapal Inggris dan Prancis yang mengunjungi Hindustan dan Persia. Pada umumnya para pelukis tersebut selalu diperintahkan mengikuti pelayaran untuk kepentingan dagang VOC dengan tujuan mencari pengalaman dan petualangan (avounturier). Tidak jarang para awak kapal sendiri yang melukis sekedar untuk mengisi waktu, sebagai selingan kejenuhankarena lam tinggal di atas geladak kapal.
Baru pada abad ke-19 diirim para pelukis yang khusus melukissegala sesuatu yang berhubungan dengan penelitian. Misalnya, Junghuhn melukis berbagai jenis tumbuh – tumbuhan, Rumphuius melukis berbagai jenis binatang darat dan laut, dan Bemenllen melukis tentang alam. Pada masa kemudian, lukisan tersebut juga sangat berharga sebagai alat untuk mengetahui dan memberi gambaran tentang keadaan kota – kota pantai, penduduk dan para penguasanya, seni bangunan serta adat-istiadat.
B. Mengamati Seni Bangunan Rumah dari Hasil Karya Seni Lukis, Pahat, Foto dan Karya Sastera
Mengenal kembali sesuatu hasil seni bangunan rumah dari silam yang umumnya sudah rusak merupakan hal yang menarik. Menarik karena materialnya yang lapuk dimakan zaman, diubah bentuknya atau dirombak karena tidak sesuai lagi dengan selera zaman, kecuali dari banguan aslinya atau reruntuhan yang ada, dapat pula melalui benda – benda lain. Adapun benda – benda lain berupa karya lukis, karya sastera, foto gravir. Sketsa, relief atau bend lain seperti maket yang dibuat oleh museum atau lembaga – lembaga penelitian.sebagai contoh, tentang bentuk bangunan rumah Jawa zaman Majapahit atau zaman Jawa Hindu, orang dapat melihatnya dari gambar relief candi atau hasil seni sastera sebagai Nagara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca.
Melalui karya seni lukis, foto gravir, relief dan karya sastera, kini orang dapat mengetahui hasil seni bangunan rumah dan perabotan milik bangsa Belanda dan anak keturunannya di Indonesia. Dengan demikian orang tidak harus selalu mencari banguan rumah aslinya, tetapi dapat pula melihatnya dari hasil – hasil karya seni lukis yang dilukis pada waktu bangunannya dalam keadaan utuh. Dalam seni lukis abad ke-17 sampai abad ke-19. sedikit sekali kemingkinan para pelukis memalsukan objek yang dilukis. Pendapat ini didasarkan atas beberapa alasan.
Pertama, para pelukis naturalis yang hidup pada abad ke-17 sampai abad ke-19 adalah pengikut yang terpengaruh oleh gaya terperiode Renaisans dan Barok. Pada masa itu “naturalisme” dan “akademisme” hidup dengan subur dikalangan seniman lukis Eropa. Dengan demikian, di dalam lukisan – lukisan seniman Belanda pada zaman ini besar sekali kemungkinannya bahwa apa yang dilukis benar – benar ada dan tepat sesuai dengan bangunan serta keadaan pada waktu itu. Sehingga dengan demikian, hasil karya lukis dari zaman itu bernilai setara dengan hasil pemotretan dengan foto kamera pada abad ke-20.
Kedua, beberapa penulisan dan pelukis lazim menggambarkan bangunan rumah serta pemandangan alam sekitarnya, misalnya rumah milik Groeneveld di Tanjung Timur (dilukiskan keindahanyan oleh penulis Johannes Oliver dan Roorda van Eysinga).
Ketiga, terdapat adanya suatu kebiasaan para pembesar VOC dan Hindia Belanda, terutama para gubernur jendral di Batavia dan para bangsawan kaya, meminta seniman melukis rumah tempat tinggaldan keluarga mereka sebagai kebanggan atau kenang – kenangan keluarga. Hal ini sama dengan orang dari abad sekarang yang memotret rumah dan keluarga untuk dipasang pada dinding rumah atau dikirim pada sanak keluarganya dengan maksud yang sama, yaitu sebagai kenangan atau pamer.
C. Pola Permukiman Masyarakat Indis di Kota, Provinsi dan Kabupaten di Jawa
Pengertian kota dan macam – macam jenis kota sudah ditulis oleh beberapa sarjana. Yang menarik ialah karya tulis Peter J.m. Nas yang membahas tentang kota yang dibedakanyan dalam empat macam yaitu; (1) kota awal Indonesia; (2) kota Indis; (3) kota kolonial; dan (4) kota modern. Kota awal Indonesia disebut memiliki struktur yang jelas mencerminkan tatanan kosmologis dengan pola – pola sosial budaya yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu; (a) kota – kota pedalaman dengan ciri –ciri tradisional-religius, dan (b) kota – kota pantai yang berdasarkan pada kegiatan perdagangan, misalnya kota Indis Semarang.
Budaya Indis yang berkembang subur pada abad ke-18 sampai abad ke-19, dan berpusat diwilayah – wilayah tanah partikelir (particuliere-landerijen) dan di lingkungan Indische landhuizen. Pada permulaan abad ke-20 kebudayaan ini bergheser ke arah urban life seiring dengan hilangnya pusat – pusat kehidupan tersebut.
Ketika landhuizen banyak dijual kepada orang – orang Cina dan tanah partikelir (particuliere-landerjen) banyak lahan berubah menjadi perkebunan-perkebunan di sekitar Batavia. Dan ketika pemilikan budak tidak lagi dibenarkan oleh hukum, ciri Indis berkembang memancar dalam kehidupan kota sebagai bagian dari urban culture kota kolonial.
Ada tiga ciri yang harus diperhatikan untuk dapat memahami struktur ruang lingkup sosial kota kolonial, yaitu budaya, teknologi dan struktur kekuasaan kolonial. Kota – kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya dan Bandung harus ditelaah dari keterkaitan erat ketiga dimensi tersebut.
Pengaruh Belanda dan mazhab – mazhab Eropa berhasil memperkuat dan memberi alat untuk menanggulangi kekurangan – kekurangan dalam cara membangun kota atau rumah, dan membantu dalam hal memberikan petunjuk tentang konstruksi bangunan, organisasi, dan metode dalam membangun rumah pada masyarakat Jawa. Dalam membangun rumah pembesar atau penguasa kolonial dan para intelektual Jawa menyesuaikan diri dengan keberadaanm bangunan Eropa. Penguasa Belanda memberikan saran – saran dalam penggunaan teknik konstruksi bangunan, kebersiahan (higienie), tata letak dan garis sepadan (rooilijin) dan sebagainya.
Unsur utama kehidupan seni bangunan Jawa adalah adanya keharmonisan dengan alam sekeliling. Seiring perjalanan waktu terdapat berbagai pengaruh budaya asing, ternasuk bahan material yang digunakan. Diberbagai daerah di Jawa masih banyak ditemukan bentuk gaya asli, bahkanterdapat suatu kesatuandalam gaya bangunan, seperti contoh berikut.
(1) Yang paling sederhana adalah bangunan cungkup kuburan Jawa, yang selalu terletak ditempat terpencil (kiwa). Khusus di sekitar lingkungannya terdapat tanaman khas, yaitu pohon kamboja, beringin,randu alas, atau pohon – pohon lain yang memiliki cabang – cabang dan daun yang rimbun.
(2) Tradisi bangunan rumah tempat tinggal Jawa, termasuk yang berada didalam kota, mencoba menyesuaikan dengan alam sekeliling sebagai latarbelakang. Dengan demikian, bangunan rumah yang didirikanmemberi kesan terbaik, sesuai dengan alam lingkunagnnya. Perkampungan penduduk pribumi terpisah dari kompleks bangunan Eropa, Walaupun kampung itu terletakdalam lingkungan kota Jawa yang sama.Harmoni dengan alam kejiwaan serta daerah yang bergunung – gunung dan ditumbuhi pepohonan yang rindang sangat terasa.
(3) Mereka tahu dan mengerti denagan adanya tempat – tempat keramat atau yang sangat ideal bagi hidup mereka di desa, seperti pancuran – pancuran air dan sumber mata air. Semuanya ini merupakan monumen alami yang terdapat di tempat – tempat sekeliling mereka, kadang – kadang dikeramatkan. Hal ini terkadang tidak dipahami oleh orang asing.
(4) Gambaran monumental sesuai dengan gambaran ide keindahan sebuah lingkunagn kota lama di Jawa dapat diamati di kota Yogyakarta. Kompleks Keraton Yogyakarta, termasuk perkampungan sekitarnya, merupakan tempat tinggal sultan dan para bangsawan serta hambanya. Bangunan itu dibangun pada 1778. Alun – alun utara dan selatan yang juga terletak di dalam kompleks keraton dikelilingi oleh benteng berparit lebar.
Maclanie Pont berpendapat bahwa pada awal abad ke-20 bangunan kota – kota di Pulau Jawa sudah banyak menerima pengaruh seni bangunan Belanda. Permukiman dan tempat tinggal penduduk di Kepulauan Hindia Belanda terbagi sesuai dengan golongan dan kebangsaannya. Ada empat golongan kebangsaan yaitu:
- Anak negeri atau bangsa Pribumi,
- orang – orang yang disamakan dengan anak negeri (sesuai dengan Sjart Pemerintahan Hindia Belanda pasal 109),
- orang Eropa, dan
- orang yang disamakan dengan bangsa Eropa (gelijk gesteld).
- Upaya mencukupi kebutuhan perumahan kota
Perkembangan dan perluasan kota-kota besar dijawa dan diberbagai tempat menimbulkan kekurangan rumah tempat tinggal bagi penduduk kota.keberhasilan mereka mengatasi kesulitan perumahan dan mengatur pendirian rumah-rumah baru sangat memudahkan mereka mengatur tata ruang kota.rumah orang eropa yang berukuran besar sudah mendapat prioritas dengan penyediaan lahan yang ditentukan oleh undang-undang.
Pada 1930 perkarangan dan ukuran rumah dibuat sesuai dengan keperluan dan dengan pertimbangan anatara lain : makin mahal nya harga tanah dan material.
Kalangan masyarakat pengusaha ada yang nafsu membuat rumah-rumah berukuran kecil atau sedang khususnya untuk orang pribumi dengan sewa paling rendah.
Sesak dan padatnya penduduk kota bandung dapat ditunjukan pada 1924 penghuni sebah rumah pribumi dapat ditunjukan dengan angka perbandingan 5,8:1 hal ini sangat berpengaruh pada penghidupan sehar-hari penghuni kota.rumah berukuran kecil itu di usahakan dijual dengan harga semurah-murahnya agar lebih hemat lagi .kesulitan yang timbul adalah pada pembentukan didinding dari beton dengan sponning pada tiangnya.psejak 1932 cara ini disempurnakan lagi antara lain dengan membuat bagian rumah yang lain seperti jendela,pintu dan lain berukuran sama.
Rumah-rumah in pada 1932 tidak lagi dikerjakan oleh kotapraja(gemeente) karena pengurus gemeente tidaj mau menanggung risiko pada tahun-tahun yang sulit itu.mereka berupaya mengetengahkan pentingnya arsitektur tradisional jawa dalm membangun perumahan dan kota.
E. Penggunaan unsur seni tradisional dalm rumah gaya indis
pada 1890 suatu zaman yang hingga kini masih ada memuat detail-detail penuh ekspresi dan mengagumkan yang sangat berharga untuk bangunan-bangunan modern,ia mengambil contoh bangunan sederhana seperti rumah jaga monyet yang tidak menggunakan plint batu,tetapi serdadu penjaga terlindung dari hujan dan panas.
Reflector menyetujui dan mengharapkan hendaknya para ahli dihindia belanda terpanggil dan sadar untuk bangun dan mengambil sumber-sumber insiprasi dari bumi hindia belanda yang tidak habis habisnya.pembangunan candi merupakan akar kehidupan seni bangunan dan gaya sendiri,dengan citra,cara dan system sendiri pula.
Reflector menganjurkan pula hendaknya jangan bersikap memiliki sentiment dan menolak menggunakan unsure-unsur budaya bangsa pribumi
Kelompok pertama mengutamakn pemidaghan dari negeri ibu(belanda0,yang menghendaki seni bangunan (nasional belanda) diberlakukan didaereah koloni,khususnya jawa.
Kelompok kedua karena merasa dipisahkan oleh kenyataan adanya pertimbangan politik,
Kedua pandangan kelompok tersebut berlage menutup pidatonya bahwa pada prinsip nya kedua kelompok itu benar.namun yang sebenarnya penting diperhatikan ialah tentang nilai seni dan peralihan perubahan seni jawa.
BAB V
Ragam hias rumah tinggal
A. Tentang Hiasan Rumah Tinggal
Aritektur rumah tinggal merupakan suatu bentuk kebudayaan. Arsitektur sendiri dianggap sebagai perpaduan antara karya seni dan pengetahuan tentang bangunan. Dengan demikian, arsitektur juga membicarakan berbagai aspek tentang keindahan dan konstruksi bangunan. Marcus Vitruvius Pollio adalah orang yang pertama kali mencetuskan konsep ini, yaitu pada abad pertama sebelum Masehi. Pengetahuan ini ia peroleh dari nenek moyangnya, yaitu bangsa Romawi. Karyanya yang berjudul De Architectura Libri Dacem diduga telah mengilhami banyak orang.
Menurut Marcus Vitruvius Pallio, 3 unsur yang merupakan fakor dasar dalam arsitektur yaitu, a. kenyamanan (convenience); b. kekuatan atau kekukuhan (strength); c. keindahan (beauty). Ketiga faktor tersebut saling berhubungan dan akan selalu hadir dalam struktur bangunan yang serasi. Seorang arsitek yang arif tidak akan mengabaikan ketiga faktor tersebut. Ketiga faktor tersebut merupakan dasar penciptaan arsitektur yang memiliki estetika. Dari ketiga faktor ini, wajarlah kiranya untuk menyebut bahwa arsitektur adalah suatu karya seni. Sebagai karya seni, arsitektur diciptakan melalui proses yang sangat sulit dan rumit.
B. Bentuk Atap dan Hiasan Kemuncak
Mengenai pembuatan bangunan rumah Jawa tradisional dan hiasannya dari masa awal abad ke-20, terdapat suatu keganjilan apabila dibandingkan dengan bagaimana masyarakat yang tinggal di pulau sekitarnya, yaitu Bali dan Sumatera terutama dalam hal mendirikan rumah. Ada kesan yang mendalam bahwa dalam mendirikan rumah dan ragam hiasannya, orang Jawa kian jarang menghias bangunan rumahnya apabila dibandingkan dengan orang Sumatera.
C. Hiasan Kemuncak Tadhah Angin dan Sisi Depan Rumah
Di Indonesia, khususnya Jawa, hiasan di bagian atap rumah kurang mendapat perhatian, kecuali pada bangunan-bangunan peribadatan (masjid, gereja, pura, dan candi). Pada bangunan rumah Eropa, hiasan kemuncak mendapa perhatian dan mempunyai arti tersendiri, baik dari sudut keindahan, status sosial maupun kepercayaan.
Sejarah lambang-lambang yang dipahatkan pada papan lis tadhah angin (tympanon) dapat dibedakan menjadi 3 babakan waktu, yaitu :
1. Lambang dari masa Pra-Kristen (zaman kekafiran Jerman), antara lain diwujudkan dengan gambar pohon hayat, kepala kuda atau roda matahari, yang kemudian pada masa Kristen ditambah dengan lambang salib;
2. Masa Kristen, berupa lambang gambar salib, gambar hati (hart), jangkar (angker), yaitu sebagai lambang kepercayaan, harapan dan kejujuran atau kesetian; dan
3. Khusus lambang-lambang dari agama Roma Khatolik, yaitu berupa miskelk dan hostie.
1. Macam-macam Hiasan Kemuncak dan Atap Rumah
a. Penunjuk Arah Tiupan Angin (Windwijzer)
Penunjuk Arah Tiupan Angin (Windwijzer) disebut juga windvaan, dalam bahasa Perancis disebut girovettes dan apabila berputar-putar disebut wire wire.
b. Hiasan Puncak Atap (Nok Acroterie) dan Cerobong Asap Semu
Bentuk hiasan puncak atap (nok acroterie) dulu menghias atap rumah petani. Hiasan ini terbuat dari daun alang-alang (stroo) sebagai prototype, kemudian dalam rumah gaya Indis dibentuk dengan bahan dari semen. Atap daun alang-alang (rumbia) digantikan dengan atap genteng. Dirumah Gubernur Jendral Reinier de Klreck diwujudkan dengan pahatan batu berukir bentuk bunga. Demikian halnya cerobong asap yang menjulang tinggi di Negara Belanda, digantikan menjadi “cerobong asap semu” yang berukuran pendek, atau diwujudkan dengan hiasan batu berukir.
c. Hiasan Kemuncak Tampak-Depan (Geveltoppen)
Bentuk hiasan pada depan rumah disebut voorschot. Seringkali voorschot itu dihias dengan papan kayu yang dipasang vertical, berhiasan, yang digunakan sampai dengan abad ke-19. Ragam hias yang dipahatkan seringkali memiliki arti simbolik berupa huruf-huruf yang distilisasi sehingga merupakan motif ragam hiasan (runenschrift).
1. Lambang Manrune, mengandung arti simbolik kesuburan. Selain bentuk huruf M, ada juga bentuk tulip atau leli.
2. Yang lebih terkenal yaitu, hiasan berupa hiasan oelebord atau uilebord yang terdapat di rumah para petani Friesland (di kota Drente disebut oelenbret) berupa papan kayu berukir melukiskan dua ekor angsa bertolak belakang yang bersandarkan pada makelaar. Arti makelar berbentuk angsa masih sering diperdebatkan orang. Pada rumah gaya Indis, gambar bentuk dua angsa bertolak belakang ada yang digantikan hayat (kalpataru, kalpawreksa).
3. Hiasan berupa makelaar, yaitu papan kayu berukir, panjang sekitar dua meter ditempel secara vertikal ada yang diwujudkan seperti pohon palem, orang berdiri dengan tangan mengadah dan sebagainya.
d. Ragam Hias Pasir dari Material Logam
Selain ragam hias pada puncak atau di tadhah angina (tympanon) bangunan rumah, ada ragam hias lain yang melengkapi bangunan rumah dari bahan besi, misalnya untuk : a. pagar serambi (stoep); b. kerbil, yaitu penyangga atap emper pada bagian depan dan belakang rumah. Kerbil berhias banyak digunakan dirumah pejabat, bupati, residen atau gedung asisten residen, contohnya seperti yang terpahat di Gedung Agung Yogyakarta sekarang; c. penunjuk arah mata angin; d. lampu halaman atau lampu dinding sampai sekarang masih banyak digunakan, bahkan kini ditiru untuk lampu penerangan jalan disepanjang kota, seperti di Yogyakarta, Surakarta, dan kota-kota kabupaten atau kotapraja; e. kursi kebun dari bahan logam besi yng dulu hanya menghias rumh orang Eropa juga banyak ditiru.
2. Ragam Hias pada Tubuh Bangunan (Topgevel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar